Loading...
19 Agu 2016

White Faeces Disease (WFD)




Etiologi/ penyebab: Belum dapat dipastikan, namun beberapa referensi menyebutkan penyakit ini berkaitan erat dengan keberadaa bakteri vibrio, microsporidia (kelompok Enterocytozoo), dan gregarine (Limsuwan, 2014; Fadli, 2014). Jenis bakteri vibrio yang ditemukan mengikuti kejadian penyakit ini antara lain Vibrio parahaemolyticus, (green colony), V fluvialis (yellow colony), V. vulnificus (green colony), V. mimicus (green colony), V. alginolyticus, V. cholera (non 01) (Limsuwan, 2014).

Gregarine merupakan endoparasit yang terdapat pada midgut udang. Gregarine yang ditemukan pada feses udang masuk dalam kelompok Nemaptosis.sp (Limsuwan, 2010). Protozoa ini banyak  teramati dalam stadium tropozoit. Siklus hidupnya melibatkan invertebrata: keong, kerang, cacing laut. Kerusakan yang disebabkan oleh gregarine bersifat minor namun jika ada dalam jumlah besar mampu menyebabkan kerusakan tepi lambung dan menjadi perantara infeksi bakteri (Johnson, 1989)






Gb. Siklus Hidup Gregarine (Johnson, 1989)
A.      Udang memakan spora bersama dengan debris di dasar
B.      Sporozoit keluar di lambung udang
C.    Sporozoit melekat di dinding usus dan berkembang menjadi tropozoit yang halus. Tropozoit lainnya tidak melekat di dinding namun menuju satu sama lain dan menjadi bentuk yang tidak biasa
D.  Bentuk yang tidak biasa ini berkembang dan melekat di usus bagian terakhir (rektum) kemudian membentuk gametosit
E.    Gametosit mengalami beberapa kali pembelahan dan menghasilkan “gymmnospore” yang dapat bebas bersamaan dengan gametosit
F.       Gymnspore dimakan oleh sel yang ada dipermukaan tubuh kerang
G.     Kemudian berkembang membentuk spora di dalam kerang
H.      Spora dengan sporozoit di dalamnya terbebas dari kerang bersama lendir (Johnson, 1989)

Enterocytozoon hepatopenaei merupakan microsporidian yang banyak ditemukan pada epitel tubulus hepatopankreas udang (Tangprasittipap et al., 2013). Mikrosporidian ini  ditransmisikan peroral antar udang tanpa membutuhkan vector intermedier (Newman, 2015). Tangprasittipap et al. (2013) dalam jurnalnya  yang berjudul The microsporidian Enterocytozoon hepatopenaei is not the cause of white feces syndrome in whiteleg shrimp Penaeus (Litopenaeus) vannamei menyatakan bahwa microsporidian E.hepatopenaei seringkali ditemukan pada P.vannamei budidaya yang terpapar WFS, tampaknyan parasite ini berkaitan erat dengan WFS meskipun keparahan infeksi E.hepatopenaei lah yang dapat memperburuk kasus WFS.


Satu lagi yang berkaitan erat dengan kejadian WFD adalah ATM (aggregated transformed microvilli). ATM berasal dari transformasi, pengelupasan, dan agregasi mikrovili hepatopankres menjadi bentukan cacing yang serupa dengan gregarine. Dalam jumlah cukup banyak mampu menyebabkan benang-benang feses pada fenomena white faeces disease. Pemeriksaan ATM dapat dilakukan secara wet mount, histopatologi, dan TEM (Sriurairatana et al., 2014). Pemeriksaan wet mount dilakukan secara langsung pada udang segar. Sedangkan untuk pemeriksaan histopatologi dan TEM membutuhkan larutan fiksatif.





v  Gejala Klinis
Salah satu kasus pada black tiger shrimp yang dilaporkan menyebutkan bahwa penyakit WFD menyerang pada usia 60-80 hari masa pemeliharaan. Gejala klinis yang dapat teramati antara lain: perubahan warna kehitaman akibat adanya protozoa epibiontik pada insang, cangkang yang longgar, dan atrofi (pengerutan) hepatopankreas (Limsuwan, 2014; Limsuwan, 2010). Usus tidak terisi oleh makanan namun terdapat untaian feses putih. Terkadang, feses putih (panjangnya 2-3cm) dapat terlihat pada bagian ekor udang yang sakit. Disamping mengkerut, hepatopankreas juga mengalami perubahan warna menjadi putih, biru (Ha, 2011). WFD dapat menimbulkan dampak pada udang berupa penurunan nafsu makan, pertumbuhan terhambat, dan kematian kronis (Limsuwan, 2014).


(Limsuwan, 2014)


Gb. Udang yang terkena WFD dimana insang menghitam yang disebabkan oleh organisme epibiontik  (Limsuwan, 2010).


Gb. hepatopankreas yang berwarna putih kebiruan pada kasus WFD (gambar dari http://marjokotriwahyudi.blogspot.co.id)

v  Faktor pendukung
Sebagian besar tambak yang terinfeksi memiliki kondisi air dimana terdapat blooming fitoplankton (perubahan warna), fluktuasi pH sepanjang hari >5, alkalinitas rendah ( <100 mg/l (ppm) ), rendahnya oksigen terlarut (DO), dasar kolam yang kotor yang disebabkan oleh aerator yang kapasitasnya tidak memadai, posisi aerator yang tidak sesuai, pembuangan endapan yang tidak memadai atau pergantian air yang tidak mencukupi serta overfeeding (Limsuwan, 2014). Disamping faktor-faktor tersebut, kadar H2S, overfeeding, tingginya bakteri vibrio, kualitas benur yang rendah dapat mempengaruhi kejadian WFD (Agrina-online, 2014)
 
v  Metode Diagnosa dan pengiriman sampel
Pemeriksaan gregarine meliputi 2 cara yaitu di lapangan dan di laboratorium. Pemeriksaan di lapangan hanya hanya menggunakan udang segar sebab jika dibiarkan hingga keesokan hari, jumlah parasit selalu rendah karena udang telah mengekskresikan isi ususnya (Miller et al., 1994). Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan histopatologi. Penanganan sampel membutuhkan larutan fiksatif (pengawet) Davidson. Udang yang berukuran kecil dapat langsung dimasukkan ke dalam botol atau wadah yang telah diisi oleh larutan Davidson’s. Sedangkan untuk udang yang berukuran besar harus dilakukan injeksi larutan Davidson’s pada kedua bagian insang dan tiap-tiap ruas hingga udang berubah warna kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan Davidson’s. Pengawetan menggunakan larutan Davidson’s ini hanya diperbolehkan dalam jangka waktu hingga 72 jam. Setelah 72 jam sampel harus dipindahkan ke dalam larutan alcohol 50%.
Pemeriksaan Enterocytozoon hepatopenaei menurut Tangprasittipap et al., (2013) lebih mudah dilakukan dengan menggunakan metode histopatologi, PCR, dan in situ hibridisasi. Penyiapan sampel histopatologi serupa dengan penyiapan sampel laboratorium gregarine. Sedangkan untuk PCR dilakukan dengan pengambilan kaki-kaki renang dan diawetkan menggunakan alcohol 70% atau etanol gliserol.


v  Pencegahan dan Pengendalian
1.       Bawang putih 5-10g/kg pakan (untuk gregarine)
2.       Tambahkan asam organic 1,5g/kg pakan pellet bersalut minyak cumi (untuk bakteri)
-          Asam formiat (HCOOH)
-          Asam asetat (CH3COOH)
-          Diikuti dengan penambahan probiotik dalam pakan
3.       Peningkatan manajemen tambak: meningkatkan DO, kebersihan dasar tambak
4.     Menurunkan tingkat kepadatan pada musim kemarau. Hal ini akan membantu menurunkan bahan organic di dasar dan proliferasi bakteri (Vibrio.sp).
5.     Beberapa produsen sukses menangani penyakit ini dengan menggunakan probiotik yang sesuai, mengandung Bacillus subtilis yang menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio.spp (Limsuwan, 2014; Limsuwan 2010)

Penanganan Enterycytozoon hepatopenaei cukup sulit sebab parasite terdapat di dalam sitoplasma sel hepatopankreas udang. Berikut penanganan yang disarankan untuk mengontrol penyakit:
-          Menyiapkan benih udang yang bebas Enterocytozoon penaei.
-          Tempat penyimpanan dan tambak udang yang permanen
-          Menggunakan kapur CaO 10-15kg/100m2 untuk membunuh spora dalam lumpur tambak
-          TCCA 5-10ppm untuk membunuh spora dalam air dan karier
-          TCCA 0.3-0.5ppm untuk meningkatkan kualitas air setiap 15 hari
-    Pengawasan secara rutin faktor lingkungan, menghindarkan stress pada udang akibat perubahan suhu air, pH, salinitas, dll.
-          Menggunakan obat herbal dalam pakan untuk meningkatkan kekebalan udang: daun jambu biji (200 mg/kg  pakan/hari selama 7 hari/ bulan);  bubuk bawang putih (8-10 g/kg pakan/hari selama 5 hari/bulan)
-          Udang yang terpapar berukuran sekitar 20-30gr, udang harus dipanen. Peralatan dan air tambak harus didisinfeksi secara hati-hati menggunakan TCCA (10-15ppm) atau Klorin (50-70ppm)

Beberapa hal berikut ini dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit WFD antara lain:
1.       Pengontrolan program pakan
2.       Penanganan dasar tambak dan oksigen terlarut (DO) yang baik
3.       Penambahan asam organic dalam pakan
4.       Penambahan probiotik untuk membersihkan dasar tambak
5.       Pemberian Immunostimulant berupa beta glucan peptidoglycan.(Limsuwan, 2014)





Referensi
Agrina-online. 2015. Sudah Kenal WFD?

Ha, Nguyen Ti dalam Anonim. 2011. White feces disease in black tiger shrimp Penaaeus monodon and solutions for disease prevention. Newsletter Research Institute for Aquaculture no 1. Apr-Jun 2011.



Jindanan Hiranchan, Timothy W. Flegel. 2014. White Feces Syndrome of Shrimp Arises from Transformation, Sloughing and Aggregation of Hepatopancreatic Microvilli into Vermiform Bodies Superficially Resembling Gregarines. OI: 10.1371/journal.pone.0099170

Johnson, S.K. 1989. Hand Book of Shrimp Diseases. Department of wildlife and fisheries science Texas A&M University: Texas

Limsuwan, C. 2014. White Feces Disease in White Shrimps: Cause and Prevention. Aquaculture business Research Center: Thailand



Limsuwan,C., Thinnarat Srisuvan, Timothy W Flege, Kallaya Sritunyalucksana. 2013. The microsporidian Enterocytozoon hepatopenaei is not the cause of white feces syndrome in whiteleg shrimp Penaeus (Litopenaeus) vannamei. BMC Veterinary Research 2013, 9:139

Limsuwan, C. 2014. White Feces Diseasein Black Tiger Shrimps: Cause and Prevention. Aquaculture business Research Center: Thailand

Limsuwan, C. 2010. White Feces Disease In Thailand. Boletines nicovita magazine April-June, 2-4. (www.nicovita.com.pe)

Mille, D.J., Criollo, F., Mora, O. 1994. Quantifying Gregarine Infestation of Penaeus vannamei on A Commercial Shrimp Farm and Some Attempts at Treatment. Aquabyte section

Newman, S.G. 2015. Current Status of Shrimp Diseases in SE Asia. http://www.holisticaquaculture.com/uploads/5/3/7/2/5372499/mexico_final_version_2015.pdf

Sriurairatana, A., Visanu Boonyawiwat, Warachin Gangnonngiw, Chaowanee Laosutthipong,


Tangprasittipap, A., Jiraporn Srisala, Saisunee Chouwdee, Montagan Somboon, Niti Chuchird,

0 comment:

Posting Komentar

 
TOP