Etiologi/
penyebab: Belum dapat dipastikan, namun beberapa referensi menyebutkan penyakit
ini berkaitan erat dengan keberadaa bakteri vibrio, microsporidia (kelompok
Enterocytozoo), dan gregarine (Limsuwan, 2014; Fadli, 2014). Jenis bakteri
vibrio yang ditemukan mengikuti kejadian penyakit ini antara lain Vibrio
parahaemolyticus, (green colony), V fluvialis (yellow colony), V. vulnificus
(green colony), V. mimicus (green colony), V. alginolyticus, V. cholera (non
01) (Limsuwan, 2014).
Gregarine
merupakan endoparasit yang terdapat pada midgut udang. Gregarine yang ditemukan
pada feses udang masuk dalam kelompok Nemaptosis.sp (Limsuwan, 2010). Protozoa
ini banyak teramati dalam stadium
tropozoit. Siklus hidupnya melibatkan invertebrata: keong, kerang, cacing laut.
Kerusakan yang disebabkan oleh gregarine bersifat minor namun jika ada dalam
jumlah besar mampu menyebabkan kerusakan tepi lambung dan menjadi perantara
infeksi bakteri (Johnson, 1989)
Gb. Siklus
Hidup Gregarine (Johnson, 1989)
A. Udang memakan spora bersama dengan debris
di dasar
B. Sporozoit keluar di lambung udang
C. Sporozoit melekat di dinding usus dan
berkembang menjadi tropozoit yang halus. Tropozoit lainnya tidak melekat di
dinding namun menuju satu sama lain dan menjadi bentuk yang tidak biasa
D. Bentuk yang tidak biasa ini berkembang dan
melekat di usus bagian terakhir (rektum) kemudian membentuk gametosit
E. Gametosit mengalami beberapa kali
pembelahan dan menghasilkan “gymmnospore” yang dapat bebas bersamaan dengan
gametosit
F. Gymnspore dimakan oleh sel yang ada
dipermukaan tubuh kerang
G. Kemudian berkembang membentuk spora di
dalam kerang
H. Spora dengan sporozoit di dalamnya
terbebas dari kerang bersama lendir (Johnson, 1989)
Enterocytozoon
hepatopenaei merupakan microsporidian yang banyak ditemukan pada epitel tubulus
hepatopankreas udang (Tangprasittipap et al., 2013). Mikrosporidian ini ditransmisikan peroral antar udang tanpa
membutuhkan vector intermedier (Newman, 2015). Tangprasittipap et al. (2013) dalam
jurnalnya yang berjudul The
microsporidian Enterocytozoon hepatopenaei is not the cause of white feces
syndrome in whiteleg shrimp Penaeus (Litopenaeus) vannamei menyatakan bahwa
microsporidian E.hepatopenaei seringkali ditemukan pada P.vannamei budidaya
yang terpapar WFS, tampaknyan parasite ini berkaitan erat dengan WFS meskipun
keparahan infeksi E.hepatopenaei lah yang dapat memperburuk kasus WFS.
Satu lagi
yang berkaitan erat dengan kejadian WFD adalah ATM (aggregated transformed
microvilli). ATM berasal dari transformasi, pengelupasan, dan agregasi
mikrovili hepatopankres menjadi bentukan cacing yang serupa dengan gregarine.
Dalam jumlah cukup banyak mampu menyebabkan benang-benang feses pada fenomena
white faeces disease. Pemeriksaan ATM dapat dilakukan secara wet mount,
histopatologi, dan TEM (Sriurairatana et al., 2014). Pemeriksaan wet mount
dilakukan secara langsung pada udang segar. Sedangkan untuk pemeriksaan
histopatologi dan TEM membutuhkan larutan fiksatif.
v
Gejala Klinis
Salah satu
kasus pada black tiger shrimp yang dilaporkan menyebutkan bahwa penyakit WFD
menyerang pada usia 60-80 hari masa pemeliharaan. Gejala klinis yang dapat
teramati antara lain: perubahan warna kehitaman akibat adanya protozoa
epibiontik pada insang, cangkang yang longgar, dan atrofi (pengerutan)
hepatopankreas (Limsuwan, 2014; Limsuwan, 2010). Usus tidak terisi oleh makanan
namun terdapat untaian feses putih. Terkadang, feses putih (panjangnya 2-3cm)
dapat terlihat pada bagian ekor udang yang sakit. Disamping mengkerut,
hepatopankreas juga mengalami perubahan warna menjadi putih, biru (Ha, 2011).
WFD dapat menimbulkan dampak pada udang berupa penurunan nafsu makan,
pertumbuhan terhambat, dan kematian kronis (Limsuwan, 2014).
(Limsuwan,
2014)
Gb. Udang
yang terkena WFD dimana insang menghitam yang disebabkan oleh organisme
epibiontik (Limsuwan, 2010).
Gb.
hepatopankreas yang berwarna putih kebiruan pada kasus WFD (gambar dari
http://marjokotriwahyudi.blogspot.co.id)
v
Faktor pendukung
Sebagian
besar tambak yang terinfeksi memiliki kondisi air dimana terdapat blooming
fitoplankton (perubahan warna), fluktuasi pH sepanjang hari >5, alkalinitas
rendah ( <100 mg/l (ppm) ), rendahnya oksigen terlarut (DO), dasar kolam
yang kotor yang disebabkan oleh aerator yang kapasitasnya tidak memadai, posisi
aerator yang tidak sesuai, pembuangan endapan yang tidak memadai atau
pergantian air yang tidak mencukupi serta overfeeding (Limsuwan, 2014).
Disamping faktor-faktor tersebut, kadar H2S, overfeeding, tingginya bakteri
vibrio, kualitas benur yang rendah dapat mempengaruhi kejadian WFD
(Agrina-online, 2014)
v
Metode Diagnosa dan pengiriman sampel
Pemeriksaan
gregarine meliputi 2 cara yaitu di lapangan dan di laboratorium. Pemeriksaan di
lapangan hanya hanya menggunakan udang segar sebab jika dibiarkan hingga
keesokan hari, jumlah parasit selalu rendah karena udang telah mengekskresikan
isi ususnya (Miller et al., 1994). Pemeriksaan laboratorium meliputi
pemeriksaan histopatologi. Penanganan sampel membutuhkan larutan fiksatif
(pengawet) Davidson. Udang yang berukuran kecil dapat langsung dimasukkan ke
dalam botol atau wadah yang telah diisi oleh larutan Davidson’s. Sedangkan
untuk udang yang berukuran besar harus dilakukan injeksi larutan Davidson’s
pada kedua bagian insang dan tiap-tiap ruas hingga udang berubah warna kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan Davidson’s. Pengawetan
menggunakan larutan Davidson’s ini hanya diperbolehkan dalam jangka waktu
hingga 72 jam. Setelah 72 jam sampel harus dipindahkan ke dalam larutan alcohol
50%.
Pemeriksaan
Enterocytozoon hepatopenaei menurut Tangprasittipap et al., (2013) lebih mudah
dilakukan dengan menggunakan metode histopatologi, PCR, dan in situ
hibridisasi. Penyiapan sampel histopatologi serupa dengan penyiapan sampel
laboratorium gregarine. Sedangkan untuk PCR dilakukan dengan pengambilan
kaki-kaki renang dan diawetkan menggunakan alcohol 70% atau etanol gliserol.
v
Pencegahan dan Pengendalian
1. Bawang putih 5-10g/kg pakan (untuk
gregarine)
2. Tambahkan asam organic 1,5g/kg pakan
pellet bersalut minyak cumi (untuk bakteri)
- Asam formiat (HCOOH)
- Asam asetat (CH3COOH)
- Diikuti dengan penambahan probiotik
dalam pakan
3. Peningkatan manajemen tambak: meningkatkan
DO, kebersihan dasar tambak
4. Menurunkan tingkat kepadatan pada musim
kemarau. Hal ini akan membantu menurunkan bahan organic di dasar dan
proliferasi bakteri (Vibrio.sp).
5. Beberapa produsen sukses menangani
penyakit ini dengan menggunakan probiotik yang sesuai, mengandung Bacillus
subtilis yang menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio.spp (Limsuwan, 2014;
Limsuwan 2010)
Penanganan
Enterycytozoon hepatopenaei cukup sulit sebab parasite terdapat di dalam
sitoplasma sel hepatopankreas udang. Berikut penanganan yang disarankan untuk
mengontrol penyakit:
- Menyiapkan benih udang yang bebas
Enterocytozoon penaei.
- Tempat penyimpanan dan tambak udang
yang permanen
- Menggunakan kapur CaO 10-15kg/100m2
untuk membunuh spora dalam lumpur tambak
- TCCA 5-10ppm untuk membunuh spora
dalam air dan karier
- TCCA 0.3-0.5ppm untuk meningkatkan
kualitas air setiap 15 hari
- Pengawasan secara rutin faktor lingkungan,
menghindarkan stress pada udang akibat perubahan suhu air, pH, salinitas, dll.
- Menggunakan obat herbal dalam pakan
untuk meningkatkan kekebalan udang: daun jambu biji (200 mg/kg pakan/hari selama 7 hari/ bulan); bubuk bawang putih (8-10 g/kg pakan/hari
selama 5 hari/bulan)
- Udang yang terpapar berukuran sekitar
20-30gr, udang harus dipanen. Peralatan dan air tambak harus didisinfeksi
secara hati-hati menggunakan TCCA (10-15ppm) atau Klorin (50-70ppm)
Beberapa hal
berikut ini dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit WFD antara lain:
1. Pengontrolan program pakan
2. Penanganan dasar tambak dan oksigen
terlarut (DO) yang baik
3. Penambahan asam organic dalam pakan
4. Penambahan probiotik untuk membersihkan
dasar tambak
5. Pemberian Immunostimulant berupa beta
glucan peptidoglycan.(Limsuwan, 2014)
Referensi
Agrina-online.
2015. Sudah Kenal WFD?
Ha, Nguyen
Ti dalam Anonim. 2011. White feces disease in black tiger shrimp Penaaeus
monodon and solutions for disease prevention. Newsletter Research Institute for
Aquaculture no 1. Apr-Jun 2011.
Jindanan
Hiranchan, Timothy W. Flegel. 2014. White Feces Syndrome of Shrimp Arises from
Transformation, Sloughing and Aggregation of Hepatopancreatic Microvilli into
Vermiform Bodies Superficially Resembling Gregarines. OI:
10.1371/journal.pone.0099170
Johnson,
S.K. 1989. Hand Book of Shrimp Diseases. Department of wildlife and fisheries
science Texas A&M University: Texas
Limsuwan, C.
2014. White Feces Disease in White Shrimps: Cause and Prevention. Aquaculture
business Research Center: Thailand
Limsuwan,C.,
Thinnarat Srisuvan, Timothy W Flege, Kallaya Sritunyalucksana. 2013. The
microsporidian Enterocytozoon hepatopenaei is not the cause of white feces
syndrome in whiteleg shrimp Penaeus (Litopenaeus) vannamei. BMC Veterinary
Research 2013, 9:139
Limsuwan, C.
2014. White Feces Diseasein Black Tiger Shrimps: Cause and Prevention.
Aquaculture business Research Center: Thailand
Limsuwan, C.
2010. White Feces Disease In Thailand. Boletines nicovita magazine April-June,
2-4. (www.nicovita.com.pe)
Mille, D.J.,
Criollo, F., Mora, O. 1994. Quantifying Gregarine Infestation of Penaeus
vannamei on A Commercial Shrimp Farm and Some Attempts at Treatment. Aquabyte
section
Newman, S.G.
2015. Current Status of Shrimp Diseases in SE Asia.
http://www.holisticaquaculture.com/uploads/5/3/7/2/5372499/mexico_final_version_2015.pdf
Sriurairatana,
A., Visanu Boonyawiwat, Warachin Gangnonngiw, Chaowanee Laosutthipong,
Tangprasittipap,
A., Jiraporn Srisala, Saisunee Chouwdee, Montagan Somboon, Niti Chuchird,
0 comment:
Posting Komentar