Loading...
25 Okt 2014

Evolusi Cinta Kunyuk

Kawan, tahukah engkau tentang cinta kunyuk? Cinta yang suka melompat secepat kilat, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam sekejap, cinta sesaat dengan apa yang sudah ia lihat. Begitulah cinta kunyuk, cinta yang banyak dipuja oleh kalangan putih abu-abu.

Aku, penulis bukan, pujangga juga bukan atau novelis juga bukan. Aku adalah petarung, petarung dengan ambisiku, penantang realita dan penakluk mimpi. Hingga setelah sekian lama aku hidup, aku menghapus frasa “cinta kunyuk” dari kamus hidupku. Bukan bermaksud apa – apa tapi ini adalah komitmen yang harus aku buat, sebagai seorang petarung. Cinta kunyuk hanyalah sebagai inhibitor untuk menaklukan mimpi.



Kala itu, ketika masih di bangku sekolah dasar, aku bermimpi untuk menjadi seorang peneliti. Keren, seorang peneliti, orang cerdas yang menemukan penemuan – penemuan hebat di dunia. Kawan, bukankah menjadi seorang peneliti adalah tugas mulia? Hanya orang terpilih yang dapat melakukannya. Tak inginkah engkau menjadi sepertiku?

Fokus dan konsisten  adalah amunisi hebat untuk menaklukkan mimpimu, begitulah pesan seorang Guru Besar dari Universitas Kehidupan, “Ayah”. Fokus dengan mimpimu dan konsisten dengan langkah demi langkah yang mengarah pada mimpimu. Begitupun denganku, selalu fokus dan konsisten. Hingga aku selalu mendapatkan sekolah – sekolah unggulan dengan proses seleksi yang super duper ketat.

Sekian tahun lamanya aku masih menjaga mimpi itu, pun ketika duduk di bangku SMA. Seragam putih abu – abu, begitu identik dengan cinta kunyuk. Tak ubahnya dengan siswa SMA Castrajaweswara, mereka sibuk dengan pasangannya, saling memperlihatkan pesonanya. Tak jarang adengan telenovela, aksi termehek – mehek dengan seting almamater pun kerap terjadi. Sementara aku, lebih banyak menghabiskan waktu di perpus, berkutat dengan update hasil penelitian diberbagai majalah ilmiah, serta menyita otak dengan berbagai ide gila.

Aku sadar, aku bukan apa – apa, bukan siapa –siapa, matahari bukan, angin juga bukan, penulis tidak dan peneliti juga belum. Kala itu, sekali lagi, aku hanyalah seorang petarung. Petarung dengan makhluk yang bernama realita. Aku sadar sepenuhnya, aku berbeda dengan mereka. Aku, bukan anak konglomerat yang bisa menghabiskan waktu bermain cinta telenovela di dunia nyata. Aku hanyalah seorang anak dari keluarga sederhana, anak dari sang penjual ikan. Untuk masuk di SMA Castrajayeswara pun aku harus bertarung dengan monster yang bernama “uang”. Butuh keberanian, kenekatan dan usaha lebih dari biasanya untuk bisa mendapatkannya.

Waktu berjalan begitu cepat, Ujian Akhir Nasional (UAN) pun sudah kulalui. Kawan, baru ini kurasakan rasa yang tidak karuan, begitu kacau. Apa yang kau lakukan jika engkau menjadi aku? Tiga bulan setelah Ujian Nasional, seorang Guru Besar dari Universitas Kehidupan “ayah”, menghembuskan nafas terakhirnya. Belum kering air mataku menangisi kepergian sang guru besar, tepatnya 40 hari kemudian, ibu yang selama ini menjadi tumpuan pergi menghilang begitu saja, tanpa pesan. Beliau membawa adik kecilku yang kala itu masih berusia 5 tahun. Kepingan keluarga, hanya tersisa aku dan adik perempuanku. Akupun dengan berat hati harus mengambil alih tugas guru besar, mendidik adikku, bertanggung jawab atas masa depannya. Namun, tahukah kawan? Bukan hanya itu yang membuat rasa menjadi tak karuan. Kala itu, secara simultan aku merasakan cinta. Mungkin, itu hanya cinta kunyuk yang tak berani aku sampaikan.

Hidayatuz Zu’amah, adalah wanita yang telah mematahkan teoriku. Jika cinta kunyuk, hanyalah adegan termehek – mehek, senang – senang, jalan-jalan kian kemari, dan diperankan oleh mereka yang bapaknya tajir. Lalu, pertanyaannya, cinta apa yang ada dalam kisahku? Sudah ku katakan, aku, matahari bukan, angin juga bukan, penulis tidak dan peneliti belum. Namun, cinta datang saat aku terjatuh, merangkak dan mencoba bangkit. Ia seperti stimulan saat aku terkulai lemah tanpa energi, ia bagai sepercik oase di padang gurun.

Akhirnya, kuputuskan untuk pergi dari kampung halaman. Rumah kenangan ku kontrakkan pada seorang penjual sate untuk menyambung pendidikan adikku. Sementara adik, tetap melanjutkan sekolahnya dan tinggal bersama Bu Dhe. Aku pergi, mencari penghidupan di daerah Salatiga. Hijrah, mungkin pilihan yang tepat kawan. Aku menjadi apapun untuk dapat menyambung hidup dan menyambung pendidikan adik perempuanku.

Setahun lamanya aku merasakan getir dan pahit. Melakukan pekerjaan kasar, berjuang, kali ini bukan untuk memperjuangkan mimpi tapi untuk bertahan hidup dan menggantikan tugas seorang guru besar. Kemudian, kemana cinta itu? Cinta itu tetap terjaga dalam singgasana agungnya, menjadi katalisator semangat dikala putus asa mulai menjerat. Aya, melanjutkan studinya di sebuah universitas di solo, Universitas Sebelas Maret. Sementara aku, tetap menjadi petarung dengan ketidakpastian masa depan.

Satu tahun berlalu, adikku sudah menamatkan studi SMA. Terlintas dalam benak ini untuk kembali melanjutkan studi. Hingga akhirnya, kesempatan itu datang. Seorang sahabat, Amy memberi informasi seleksi beasiswa. Singkat cerita, dengan alur yang berliku, aku lolos seleksi Beasiswa tersebut. Dan inilah era kebangkitanku kawan,  kembali berjuang menegakkan mimpi yang telah tertancap bersama janjiku di atas pusara Guru Besar, “ayah”.

Aku, menggemgam sebagian mimpiku untuk melanjutkan studi di Universitas Diponegoro. Dengan keterbatasan, terus berusaha untuk berkembang, tak berhenti melangkah, tak larut dalam kepuasan. Jejak – jejak kecil yang aku tinggalkan di UNDIP. Aku pernah menjadi pimpinan senat tingkat universitas, menjadi presiden partai mahasiswa, mahasiswa berprestasi fakultas, serta melakukan riset yang didanai oleh dikti maupun diknas jateng. Lulus dengan predikat cumlaude dan tercepat. Bahkan, sebelum mengenakan toga di upacara wisuda, aku sudah bekerja sebagai research asisstant di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang perikanan. Sementara Aya, terbang dengan prestasinya, pernah mendapatkan kesempatan untuk belajar disebuah universitas di Malaysia, Universitas Putra Malaysia. Dan sekarang ia menempuh S2 di IPB dengan beasiswanya, memantapkan diri untuk menjadi dosen.

Hampir empat tahun berjalan dengan penuh kepahayan, tanpa sandaran kedua orang tua. Akhirnya sebelum wisuda mendapat sebuah kabar bahwa ibu dan adik kecilku akan hadir di wisudaku. Ternyata beliau pergi merantau di ranah Papua. Setelah kepulangan beliau, aku pun memberanikan diri untuk mengkhitbah Aya. Prosesi sederhana, berucap komitmen kepastian dengan calon mertua di depan keluarga besar.

Cinta kunyuk itu memang tidak se-ekstrim milik Andrea Hirata yang telah membawanya hingga ke Sorbone dan menjelma menjadi tetralogi Laskae Pelangi. Juga tidak seperti Habibie dan Ainun yang telah menginspirasi jutaan umat manusia. Namun, setidaknya Kawan, ia telah mengajarkanku menjadi seorang petarung sejati, berani menantang realita dan menaklukkan mimpi. Dan sekarang, saatnya untuk kembali bangkit, untuk kembali mengejar mimpi yang lain, menjadi “Guru Besar” yang sebenarnya.



(Diterbitkan oleh Diva Press dalam Buku From Wisdom to Freedom)

0 comment:

Posting Komentar

 
TOP