Malam ini, ditengah rintik hujan. Sepoi romantis
dari angin menerpa sebuah lamunan. Diteras atas sebuah asrama ku pandangi
gemerlip lampu jauh, menyelimuti gunung ungaran, lihai mempertunjunkkan
kecantikannya. Disinalah saat ini aku berada, asrama etos. Dari sebuah bangunan
di pojok gang iwenisari inilah kutemukan hidupku.
Etos, adalah sebuah laboratorium bagi seorang peneliti yang haus akan ilmu
tentang hidup. Ilmu tentang cara memandang sebuah keterbatasan menjadi seolah
bagai langit yang membongkar pikiran tentang keterbatasan melihat hidup. Etos,
bagai sebuah pena yang memberi inspirasi kepada seorang sastrawan dimana
sebuah kata yang tertulis adalah sebuah janji. Labarin ini bergetar rasanya,
mengingat sejauh ini aku melangkah. Berjuang, terjatuh, bangun dan kembali
berdiri walaupun itu sakit, walaupun angan itu masih terasa sangat jauh. Sebuah
angan, impian untuk melihat tawa mereka yang berada dikolong jembatan.
Menemukan sesuatu yang hilang, di temani secangkir kopi dalam rengekan gerimis
di teras ini. Masih berjamah dengan lembutnya angin malam ini. Ku lihat diriku
tiga tahun yang lalu, saat aku kehilangan semuanya. Bagai kehilangan nyawa saat
Sang Khalik menetapkan sebuah ketetapan untuk hidup.
Masih teringat jelas dalam benakku dimana waktu tak lagi berarti, makna tak
mampu lagi memberikan sebuah arti. Aku kehilangan ayah yang selama ini menjadi
inspirasiku. Aku layaknya seorang anak yang selalu kagum dengan ayahnya. Tapi
melihat kondisinya saat itu, terkapar lemah tak berdaya di atas ranjang.
Matanya yang tajam tak lagi dapat melihat, bahkan tak mampu melihat saat itu
aku menangis terisak dengan kesedihan yang mendalam. Tubuhnya lemah, tak lagi
mampu menyangga badannya yang kekar, yang selalu menunjukkan optimisme.
Kamis, 13 Maret 2008. Seperti malam ini dengan gerimisnya yang membasahi
bumi. Entah apa yang terjadi, tak tahu bagaimana aku harus mengawali
cerita ini. Tiba – tiba nafasnya berubah sesak. Matanya yang tajam menatapku,
tapi hanya gelap yang ia lihat. Aku mendekat kemudian memeluknya. Dan masih
teringat jelas senyum itu. Senyum terakhir. Dan nafasnya semakin sesak saja
kala itu. Hingga akhirnya dengan seikhlas- ikhlasnya ku bisikkan,
“Allah, Allah, Allah, Asshaduallah illah ha illallah
wa ashaduanna muhammadaraullah....”
Dengan senyum ia meninggalkanku, dengan senyum ia
mengucapkan selamat tinggal kepadaku, dengan senyum pula ia berharap kepada
anak tertuanya. Senyum adalah bahasanya. Bahasa yang mengajariku tentang arti
kelembutan dan keikhlasan. Air mata dan doaku mengantarkan ia pergi. Ku peluk
raga yang sudah tak bernyawa ini karena tanganku ta lagi bisa menggapainya.
Izroil telah membawanya pergi. Ku lihat Izroilpun menangis malam itu.
Tak terasa sudah tiga tahun aku menjadi yatim. Berdiri dengan kaki sendiri,
memikul beban lebih berat, berusaha berdiri lebih tinggi, dan mencoba berlari
lebih cepat. Secangkir kopi malam ini menamaniku melihat diriku tiga tahun yang
lalu. Secangkir kopi ini pula yang selalu menginspirasiku. Kopi memang selalu
menginspirasi seoarang seniman, sastrawan, komedian bahkan politisi. Dengan
kopi Andrea Hirata menyelesaikan Tetralogi Laskar Pelanginya, dengan kopi Mbah
Surip menikmati hainya, dan dengan kopi pula Ricola Paserror menyelesaikan
novelnya “Seharusnya Cinta Seperti Secangkir kopi”. Kopi pula yang menemaniku
berlari bersama kawanku. Memberanikanku bermimpi menjadi orang setengah gila.
Tanpa semangat dan mimpi orang seperti kita akan mati, itulah yang dikatakan
Arai kepada kami seorang etoser.
Kita adalah kumpulan orang gila yang mencoba melawan arus. Kami berjanji untuk
untuk keliling dunia kemudian bertemu di Paris, Korea dan Jepang saat perut ini
keroncongan menahan lapar. Kami berjanji untuk menyelesaikan desertasi saat
semester depan terancam mangkir karena tak tahu harus bagaimana membayar biaya
kuliah semester depan. Dunia kami adalah dunia mimpi, kami hidup dalam impian
yang nyata. Mimpi ini adalah mimpi saat kami sadar betul. Dan mimpi ini adalah
mimpi yang sangat mengerikan melihat kondisi kami saat ini. Kami adalah orang –
orang miskin yang terdampar dalam dunia kampus. Saat mereka memikirkan besok
akan menyelesaikan tugas, berbeda dengan kami seorang etoser. Tak cukup sekedar
itu, tak cukup sekedar tugas kuliah, laporan praktikum dan ujian semester. Kami
memikirkan lebih dari sekedar itu, yang kami pikirkan adalah bagaimana cara
memperbaiki bangsa yang pemimpinya amburadul ini, memikirkan umat yang telah
menganggap artis sebagai nabi, memikirkan mereka yang kelaparan di kolong
jembatan yang semua ini kami pikirkan dalam keadaan ironis. Tepatnya sangat
ironis karena kami memikirkan semua itu dalam kondisi kelaparan. Akhir bulan
saat kondisi keuangan kami kritis, berada dalam kondisi kelaparan masal di
Asrama Beastudi Etos Putra.
Kembali ku hirup aroma kopi ini. Kopi memang selalu penuh filosofi. Hitam dan
pahit, siapa juga yang mau menikmatinya. Seperti negeri ini, masalah begitu
kompleks dari ujung akar hingga ujung daun. Dari pejabat hingga rakyat jelata
semuanya bermasalah. Dulu kita dijajah dan sekarang kita dijarah. Kelaparan di
negeri yang subur, gemah ripah loh jinawi kata orang dulu. Kita mempunyai
tambang emas berbanyak dan terbaik, tapi siapa yang menikmati? Laut kita di
curi, Sipadan dan Ligitan dirampas, tapi pejabat mana yang peduli? Reog kita
diakui, ibu- ibu di desa yang subur dipaksa mencuci piring di negeri orang,
dihina, diperkosa, tapi apa yang mereka lakukan? Perusahaan penyalur tenaga
kerja berlomba-lomba berdiri. Begitu pahit memang, sepahit kopi yang belum
tersentuh tangan – tangan terampil di deretan penjual kopi di Belitung dan
penjual burjo di Tembalang. Tapi lihatlah, saat sedikit saja kopi itu dicampur
gula begitu luar biasa rasanya. Semakin panas air seduhannya semakin harum saja
aromanya. Banyak karya yang tercipta hanya karena kopi. Yah, negeri ini memang
secangkir kopi. Kita hanya perlu menunggu waktu untuk mencari tangan terampil
pembuatnya, sesendok gula untuk memaniskannya dan segelas air panas untuk
menyeduhnya dan membuatnya harum. Kitalah gula itu, kitalah air penyeduh itu,
dan kitalah tangan terampil pembuat secangkir kopi untuk negeri.
Mimpi adalah hal yang paling menyenangkan di dunia. Seolah seperti sayap yang
siap membawa kita melayang karenanya. Dalam mimpi pula kita dapat memperoleh
apapun, bahkan dalam tidurnya seolah tak ingin bangun untuk menghadapi hari
ini. Selimut tidur yang membawa imajinasi kita terbang memperoleh apapun yang
kita inginkan. Tapi mimpi itu berbeda dengan mimpi yang kami alami. Mimpi ini
adalah mimpi yang paling mengerikan, lebih mengerikan dari mimpi apapun dalam
tidurku. Kita bermimpi dalam dunia nyata dan dalam keadaan yang
sesadar-sadarnya. Bertarung melawan realita, bergulat kondisi saat ini dan
tersiksa oleh misteri masa depan yang terasa terlalu jauh untuk dapat kita
jangkau.
Aku telah berjalan sejauh ini, sejauh cakrawalawa dalam pandangan. Optimis,
semangat dan harapan, hanya itu yang aku punya saat ini. Etos adalah rahim
mimpiku, mimpi membangun negeri, mimpi menjadi seorang peneliti dan mimpi untuk
sebuah kehormatan. Entah apa formula dari beastudi etos yang diberikan kepada
diri ini. Jauh, dan sangat jauh berbeda dengan diriku tiga tahun yang lalu.
Seorang yang apatis, tidak pernah mengikuti organisasi apapun, dan tidak pernah
punya prestasi satupun saat SMA kini menjadi berbeda saat melebur dalam
komunitas ini. Etos telah mengubah diri ini menjadi sesuatu yang baru, bahkan
aku sendiripun tak pernah membayangkan sebelumnya. Wakil Ketua Senat Mahasiswa
Universitas Diponegoro, Mahasiswa Berprestasi 2 FPIK, didanai proposal
penelitian (PKMP), kewirausahaan (PKMK dan PMW) semua ini karena etos.
Komunitas ini adalah komunitas terbaik yang pernah aku temukan. Komunitas yang
mampu merombak pola pikir orang didalamnya menjadi prestatif dan kontributif.
Satu hal penting aku belajar disini, bahwa keterbatasan sesungguhnya bukan
karena lingkungan, status sosial, kondisi ekonomi keluarga,dll. Keterbatasan
hanyalah ada dalam pikiran kita, diri kita sendiri yang membatasi kita untuk
berkembang, bukan yang lain. Dan Etos telah berhasil melepas belenggu itu, aku
sendiri yang membuktikannya kawan. Dan aku yakin banyak kawan - kawan etoser
yang lain yang mengepakkan sayapnya lebih lebar. aku yakin itu, pemimpin besar
Indonesia akan lahir dari rahim etos.
Aku kembali tersentak dari lamunanku. Kopi ini seolah menjadi pembius bagiku,
membawaku ke dalam alam refleksi tiga tahun yang lalu. Kopi ini mengantarkanku
bersyukur, bersyukur saat melihat diriku saat ini. Ah, mungkin nanti saja kawan
ku lanjut ceritanya. Inginku
menikmati waktuku bersama kopi ini.
0 comment:
Posting Komentar